SENIN kemarin saya tengok kampung: di Magetan.
Tepatnya ke desa Tegalarum. Masih 16 kilometer dari kota Magetan. Tiba-tiba
saya ingin ke makam ibu. Di desa tetangga, yang sudah masuk wilayah kabupaten
Madiun. Rumput liar menguasai makam itu. Sampai bisa untuk alas duduk saat
tahlil di dekat pusara.
Meski
rumah di tempat kelahiran sudah tidak ada tapi masih banyak keluarga di desa
itu. Kami pun ngobrol tentang masa lalu. Terutama tentang ibu saya. Yang
meninggal saat saya berumur 11 atau 12 tahun. Tiba-tiba pula saya ingin ini:
apakah mungkin masih ada orang yang menyimpan batik karya ibu saya. Maka
orang-orang tua di desa kami sibuk mengingat-ingat: siapa yang dulu pernah
meminta ibu untuk membikinkan batiknya.
Kesimpulannya:
mereka minta waktu. Akan bertanya ke tetangga yang lebih jauh. Kami sendiri
tidak menyimpan batik bikinan ibu. Tidak mungkin. Ibu hanyalah orang yang baru
membatik kalau ada orang yang order. Itu pun yang memesan itu harus membawa
kain putih sendiri. Umumnya kain mori.
Ibu
juga tidak mampu beli malam, bahan yang kalau dipanaskan mencair, bahan utama
batik. Ibu selalu minta sebagian upah dibayar di depan. Untuk beli malam. Dan
soga; pewarna utama batik. Ibu tidak pernah kekurangan order. Sepanjang hari
duduk di pembantikan. Saya, yang masih kecil, sering bermain di antara kain
yang sedang dibatik.
Kadang,
dari balik kain, jari saya mengikuti garis yang baru dilewati canting berisi
malam cair. Ibu pernah bilang, sering juga menyusui saya sambil terus membatik.
Semua yang pernah memesan batik pada ibu sudah meninggal. Kami harus menelusuri
lewat keturunan mereka.
Dahlan
Iskan berbincang dengan kerabatnya di Takeran, Senin, kemarin.Terakhir ibu
membatik kira-kira tahun 1962. Sebelum sakit. Perutnya membesar. Berisi air.
Tetangga bilang ibu saya kena santet. Dibawa ke dukun. Opname di rumah dukun.
Akhirnya meninggal.
Saya
belum mengerti apa-apa.Ternyata, seandainya pengetahuan saya saat itu seperti
sekarang sakitnya ibu itu sepele sekali. Apalagi biayanya. Dokter Puskesmas pun
bisa mengatasi.Mengapa ibu tidak punya warisan batik karyanya sendiri? Biar pun
selembar? Ibu tiap hari memang mengenakan batik. Tanpa celana dalam.
Begitulah
di kampung saat itu. Tidak ada wanita beli celana dalam.Tapi batik yang dipakai
ibu selalu batik rombeng. Yang dibeli dari pasar loak. Jangan dianggap ongkos
membatik itu cukup untuk hidup. Selalu saja ketika batiknya belum selesai
ongkosnya sudah habis.
Saya,
sebagai anak kecil, juga selalu pakai sarung batik. Untuk ke masjid. Tapi juga
selalu batik rombeng. Pernah saya sangat gembira mendapat sarung batik baru. Katanya,
batik Lasem.Tapi begitu dicuci bolong-bolong. Rupanya itu batik rombeng yang
dibatik ulang. Tentu setelah bolong-bolongnya dilem. Maka gagallah pakai sarung
baru pada Lebaran hari itu.
Pulang
kampung kali ini saya juga ketemu banyak petani. Tentu mereka berkeluh kesah.
Tapi saya hanya mendengarkan. Tidak bisa menjanjikan perbaikan apa-apa.Yang
hebat adalah ini: ada di antara penduduk desa di kecamatan Untoronadi yang bisa
ikut mengatasi salah satu kesulitan petani itu. Saya dengarkan ceritanya dengan
detil.
Saya
anggap dia itu telah mau memerankan diri menjadi Bulog di desanya. Sekaligus menjadi
bank tani yang diimpikan itu. Bahkan sekaligus menjadi dewa. Namanya Irwansyah.
Umurnya 53 tahun.
Cara
yang dia tempuh: saat panen tiba, dia bersedia membeli gabah petani yang
harganya lagi anjlok. Tapi tidak beli putus. Masih ada hak petani di gabah yang
dibelinya itu. Saat harga gabah sudah naik lagi, Irwansyah baru menjualnya. Hasil
jualan itu diperhitungkan begini: dipotong dulu uang sudah pernah diterima,
dipotong pula biaya pengeringan. Kelebihannya dikembalikan ke petani.
Luar
biasa.
Bulognya
negara saja tidak bisa melakukan itu. Praktik yang dilakukan Irwansyah itulah
yang oleh dunia modern disebut konsep resi gudang. Konsepnya hebat. Tapi tidak
ada yang menjalankannya. Irwansyah, orang desa Untoronadi itu, telah
mengalahkan Bulog. “Tapi saya hanya mampu membeli terbatas. Uang saya tidak
banyak,” ujar Irwansyah.
“Saya
hanya mampu menolong 40 petani di desa saya saja,” tambahnya. Dalam bahasa Jawa
yang medok.
Di
mana Irwansyah bisa dapat bisnis? Ternyata otaknya jalan: dia adalah penjual
pupuk. Dan keperluan tani lainnya di desanya. Dia tahu persis petani itu selalu
ingin agar panennya segera menjadi uang. Tidak bisa menunggu harga baik. Tapi
kalau dijual saat harga anjlok hasilnya tidak memadai.
Itulah
problem hampir semua petani. Problem lama yang tidak pernah ada jalan keluar. Apakah
motif di balik kebulogan Irwansyah itu? Dia hanya ingin konsumennya loyal. Dia
ingin petani yang ditolongnya itu akan selalu beli pupuk dari kiosnya. Itu
saja. Semacam membuat ikatan batin dengan konsumen.
Dahlan
Iskan bersama Irwansyah (berbaju putih) di sela-sela ngobrol dengan warga di
Takeran, Magetan, Senin kemarin.Ternyata Irwansyah ini orang Aceh. Ibunya
Padang.Bapak-ibunya sudah meninggal saat dia masih kecil. Lalu ikut neneknya.
Buruh menguliti kelapa. Irwansyah ikut membantu pekerjaan neneknya itu. Sambil
jualan gorengan keliling kampung.
Lulus
SD Irwansyah pamit ke neneknya untuk ke Jakarta. Naik kapal. Info yang dia
dengar: di Jakarta itu mudah cari uang. Terutama di Tanah Abang. Upahnya
menguliti kelapa cukup untuk beli tiket kapal Pelni. Di Tanah Abang Irwansyah
ditolong seorang Tionghoa. Boleh tidur di rumahnya di hari pertama di Jakarta
itu. Asal mau bantu pekerjaan rumah.
Tiap
hari dia ikut ke Tanah Abang. Lalu punya kenalan-kenalan. Bisa ikut jualan
buku. Mulai punya uang. Bisa bayar kontrakan. Irwansyah jualan apa saja yang
lagi laku. Sambil tetap sekolah di SMP. Lalu STM. Di dekat kontrakannya itu ada
gadis yang juga mengontrak ruangan. Buruh di pabrik tekstil di Cimanggis.
Sering
ada lelaki yang mengetuk pintu kontrakan gadis itu. Tapi gak pernah dibukakan
pintu. Dia tahu lelaki itu tidak disukai sang gadis. Suatu kali Irwansyah
mencegat lelaki itu. Mengaku sebagai pacar sang gadis, meski sebenarnya belun
kenal. Singkat cerita, Irwansyah berkenalan. Lalu minta sang gadis pulang ke
kampunya. Untuk minta ijin bolehkan jadi istrinya.
Boleh.
Irwan pun mengawininya. Di kampung sang gadis: Untoronadi, Magetan. “Begitu
susah saya mencari Untoronadi itu di mana. Saya belum pernah keluar dari
Jakarta,” katanya.
Begitulah.
Irwansyah jadi penduduk Untoronadi. Melihat peluang jualan pupuk. Tapi dagang
pupuk perlu modal besar. Dia putuskan cari modal: pergi ke Australia. Mau kerja
apa saja. Dalam dua tahun harus bisa kumpulkan uang. Cukup untuk dagang pupuk
di Untoronadi.
Itulah
kisah sukses Irwansyah. Dari zero to hero. Beneran. Latihan berjualan sejak
kecil ternyata membuatnya bisa hidup sebatang kara di Jakarta. Bahkan kelak, di
tahun 2018, bisa menjadi Bulog di desanya.(dis)
Komentar Zara Zettira, via Twitter
Kalau namaku jadinya bagaimana dalam huruf Chinese?
Komentar Disway:
Zettira yang cantik, Anda serius ingin punya nama Tionghoa?
Saya lihat ada empat pola pemberian nama di Tiongkok. Bagi yang lebih tahu, tolong koreksi saya.
Pertama: Yang memang punya nama Tionghoa.
Kedua: ... Read More
SAYA bukan penggemar kopi. Tapi saya harus masuk warung kopi satu ini. Demi disway. Di dekat show room Tesla. Di Shanghai. Orang Tiongkok menyebut warung kopi ini Xingpake. Orang Amerika menyebutnya: Starbucks. Inilah Starbucks terbesar di dunia. Pemiliknya: Jack Ma. Laobannya Alibaba. Saya bukan penggemar kopi. Meski waktu kecil sering diminta menggoreng kopi. Di wajan terbuat ... Read More